By David Casidi
By David Casidi |
Bak Memakan Buah simalakama, itulah
yang dirasakan Parman anak seorang
terorist ternama di negara antah berantah yang bernama Dende. Di satu sisi parman sangat ingin
melanjutkan studi yang dia jalani tapi setiap hari ia harus menanggung cemo’ohan
dan siksaan dari teman-temannya. Ayahnya meninggal tahun lalu karena adanya
operasi yang dilakukan oleh pemerintah terhadap kelompok pemberontak yang ingin
merdeka dari negera yang dipimpin oleh diktator dengan sistem pemerintahan “yang
kaya makin kaya, yang miskin semakin mealarat” tiada lain merupakan kelompok
yang dinaungi oleh dende ayah parman.
Setiap hari parman berangkat ke sekolah
pagi-pagi sekali, dengan langkah kaki kecilnya serta perlahan namun pasti. Setiap
hari pula ia harus menentang derasnya aliran sungai dan lebatnya hutan hujan. Ini
dikarenakan rumah parman terletak jauh dari aktifitas kota bahkan desa. Ia tinggal
bersama ibunya ditengah-tengah hutan hujan yang dihuni berbagai macam binatang
buas yang sewaktu-waktu dapat menyerangnya. Saat sampai disekolah parman selalu
disambut oleh teman-temannya, namun bukan sambutan yang hangat yang ia dapatkan
melainkan lemparan benda keras yang mendarat ditubuh mungilnya serta perkataan
yang di pantas didengar oleh anak yang masih berumur delapan tahun dipaksa
masuk ke cela-cela pendengarannya yang masih terlalu dini untuk merasakan
kerasnya kehidupan. Jangan kan teman-temannya sebagian besar guru-guru
disekolahnya merasa sentimen pada parman tidak terkecuali wali kelasnya.
Walaupun demikian, parman merupakan
anak yang cerdas diantara semua teman-temannya dimana ia sering dipanggil oleh
kepala sekolah yaitu satu-satunya oknum sekolah yang tidak memandang parman
dari tindakan ayahnya yang menurut orang miskin adalah seorang pahlawan namun menurut
pemerintah setempat dan orang kaya merupakan “Terorist” untuk mengikuti
perlombaan akademik diluar wilayah. parman sebenarnya lebih unggul dari peserta
yang lain akan tetapi juri yang hadir sama saja dengan guru-guru parman yang
ada disekolahnya, akibatnya parman selalu saja mendapati namanya di urutan
paling bawah.
Suatu malam yang sunyi, hanya
terdengar jangkrik yang saling menyapa dan kodok yang seakan memanggil turunnya
hujan parman menulis sesuatu pada selembar kertas sambil meneteskan airmatanya.
Dari kejauhan terdengar suara warga yang samar-samar sampai ketelinga, dengan cepat
dan nada berteriak ibu parman memanggil parman dan adik perempuannya yang masih
berumur lima tahun dari kamarnya “Nak, Cepat ambil bangunkan adikmu kita pergi
dari rumah ini!” perintah ibunya, dengan cepat parman membangunkan adiknya dan
meninggalkan secarik kertas diatas meja lalu mereka pergi meninggalkan kamar. Dengan
cepat ibu parman mengambil sarina ialah adik parman yang rencananya tahun ini
siap menanggung beban seperti parman untuk disekolahkan. Mereka pun
dengan cepat berlari menghindari kerumunan warga yang mengamuk dengan obor
ditangan yang siap membakar apapun milik parman dan keluarganya, serta sabit
dan cangkul yang siap mencabik-cabik daging keluarga malang tersebut. Parman dan
adiknya sembunyi dibalik semak-semak yang lebat, sedangkan ibunya kembali
kedalam rumah untuk mengambil boneka sarina yang terus menerus menangis karena
boneka kesayangnnya tertinggal. Karena naluri seorang ibu, ibu parman kembali
kedalam rumah untuk mengambil boneka sarina yang menangis dibalik semak
persembunyian mereka. Sialnya ibu kedua anak kecil ini tertangkap dan dibakar
hidup-hidup bersama dengan rumahnya. “Lari Nak!!, jaga adikmu baik-baik....!!”,
Teriak Ibunya dengan tubuh yang diselimuti oleh panasnya api.
Setelah semua warga kembali pulang,
parman dan adiknya keluar dari semak kemudian berlari kencang sambil memegang
tangan adiknya yang berlari berusaha mengimbangi kecepatan kakaknya. Setelah merasa
lelah dia pun berhenti sejenak untuk istirahat sambil mencari makanan dan
minuman untuk mereka berdua. Hari demi hari mereka berjalan melintasi hutan
demi hutan, desa demi desa dan kota demi kota.
Bersambung........
0 comments:
Posting Komentar